CABANG-CABANG ILMU HADITS

Dari ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah ini, pada perkembangan berikutnya muncullah cabang-cabang ilmu hadits lainnya, seperti ilmu Rijal al-hadits, ilmu Jarh wa Ta’dil, ilmu Tarikh ar-ruwah, ilmu Illal al- hadits, ilmu Nasakh Mansuhk, ilmu Asbab al-wurut al-hadits dan ilmu Mukhtalif al-hadits. Secara singkat cabang-cabang tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1. ILMU RIJAL AL-HADITS
Ilmu Rijalal-hadits adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadits, baik dari kalangan sahabat, tabiin, maupun dari angkatan sesudahnya. Dengan ilmu ini kita dapat mengtahui keadaan para perawi yang menerima hadits dari rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya. Didalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadits.
Ilmu tersebut sangat penting untuk dipelajari dengan seksama dalam lapangan ilmu hadits, karena obyek kajian dalam hadits pada dasarnya terletak pada dua hal yaitu sanad dan matan. Maka mengetahui mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini beragam, ada yang hanya menerangkan tentang riwayat-riwayat singkat dari para sahabat saja, ada yang menerangkan tentang riwayat-riwayat umum para perawi, ada yang menerangkan tentang perawi-perawi yang dipercaya saja, ada yang menerangkan tentang riwayat-riwayat para perawi yang lemah, para mudallis atau para pemuat hadits Maudlu’, ada yang menerangkan tentang sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-sebab dipandang adil seorang rawi dengan menyebut kata-kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan. Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan yang didalam ilmu hadits disebut mu’talif dan mukhtalif, ada yang menerangkan tentang nama-nama perawi yang sama berbeda orangnya seperti Khalil Ibnu Ahmad, nama ini dimiliki banyak orang. Dalam istilah dikatakan muttafiq dan muftariq, dan ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan dan sebutan, akan tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa, sti Muhammad Ibnu Aqil dan Muhammad Ibnu Uqail. Hal tersebut dalam istilah adalah musytabah. Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat. Disamping itu ada pula yang hanya menerangkan nama-nama yang terdaptat dalam satu kitab saja. Dan semua kitab-kitab tersebut telah disusun oleh para ulama hadits.
Permulaan ulama yang menyusun kitab riwayat ringkas para sahabat adalah Imam Al-Bukhari(256 H). Kemudian usaha itu dilaksanakan oleh Muhammad Ibnu Saat. Setelah itu terdapat beberapa ahli lagi diantaranya Ibnu Abdil Barr(463 H) dengan kitabnya yang bernama Al-Istiab.
Pada permulaan abad ke-7 Hijriyah, Izzuddin Ibnu Atsir(630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah tersusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang bernama Usdul Gabah. Ibnu Atsir adalah saudara dari Majdudin Ibnu Atsir pengarang kitab An-Nihayah fi Garibil Hadits. Kitab Izzuddin diperbaiki oleh Az-Dzahabi(747 H) dalam kitab At-Tajrid.
Sesudah itu pada abab ke-9 Hijriyah, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Ishabah. Kitab tersebut berupa kumpulan dari Al-Istiab dengan Usdul Gabah dan ditambah dengan pembahasan lain yang tidak terdapat didalamnya. Kitab ini telah diringkas oleh Imam As-Suyuti dalam kitab Ainul Ishabah.
Al-Bukhari dan Muslim telah menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama sahabi yang hanya meriwayatkan suatu hadits saja yang dalam istilah disebut wuzdan. Kemudian dalam bab ini Yahya Ibnu Abdul Wahab Ibnu Mandah Al-Asbahani(551 H) menulis sebuah kitab yang menerangkan tentang nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun.
2. ILMU JARH WA TA’DIL
Pada hakikatnya ilmu jarh wa Ta’dil merupakan suatu bagian dari ilmu Rijal al-hadits, akan tetapi bagian tersebut dipandang sebagai bagian terpenting dalam hadits maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Ilmu Jarh wa Ta’dil terdiri dari al-jarh dan at-ta’dil. Al-Jarh menurut bahasa berarti luka atau cacat sedang menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari tentang kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedabitannya. Para ahli hadits mendefinisikan al-jarh dengan: ”Kecacatan para perawi hadits karena sesuatu yang dapat merusak keadilan dan kedabitannya”
At-Ta’dil menurut bahasa berarti at-tasywiyah(menyamakan), sedang menurut istilah adalah lawan dari al- Jarh yaitu pembersian dan panyucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dabit. Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan at-Ta’dil dalam satu definisi, yakni: ”Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lafad tertentu”
Contoh ungkapan tertentu untuk mengetahui keadilan atau kedabitan para perawi, antara lain:
Fulan orang yang paling dipercaya
Fulan kuat hafalannya
Fulan hujjah
Contoh ungkapan tertentu untuk mengetahui kecacatan para perawi, antara lain:
Fulan orang yang paling berdusta
Fulan tertuduh dusta
Fulan bukan hujjah
Menurut keterangan Ibnu Adi(365 H) dalam muqaddimah kitab Al-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat. Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan para perawi hadits yaitu Ibnu Abbas(68 H), Ubadah Ibnu Shamit(34 H) dan Anas Ibnu Malik(93 H).
Di antara tabiin yaitu Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin(110 H), Said Ibnu Al-Musaiyab(94 H).Dalam masa mereka masih sedikit orang yang dipandang cacat dan pada abad ke-2 Hijriyah banyak ditemukan orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena menyampaikan hadits, mengangkat hadits yang sebenarnya adalah hadits Mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja seperti Abu Harun Al-Abdari(143 H).
Setelah masa tabiin yaitu pada tahun 150 Hijriyah, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan perawi, menakdil dan menajrih mereka. Diantara ulama besar yang ikut memberikan perhatian dalam masalah tersebut yaitu Yahya Ibnu Said Al-Qattan(189 H), Abdur Rachman Ibnu Mahdi(198 H), Yazid Ibnu Harun(189 H) dll. Dan barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarh dan ta’dil yang di dalam kitab tersebut tentang keadaan para perawi boleh atau tidaknya riwayat yang disampaikan. Di antara pemuka-pemuka jarh dan ta’dil yaitu Yahya Ibnu Main(233 H), Ahmad Ibnu Hanbal(241 H), Muhammad Ibnu Saat(230 H) dll. Kemudian pada setiap masa terdapat para ulama yang memperhatikan keadaan perawi hingga sampai pada masa Ibnu Hajar Asqalani(852 H).
Kitab-kitab tentang jarh dan ta’dil yang disusun sangat beragam. Ada yang menerangkan tentang orang-orang yang dipercaya saja, ada yang nenerangkan tentang orang-orang yang lemah saja dan ada juga kitab yang melengkapi semuanya. Kitab tersebut adalah kitab Tabaqat yang di karang oleh Muhammad Ibnu saat Az-Zuhri Al-Basari(230 H), Ali Ibnu Madini(234 H), Imam Al-Bukhari, Muslim, Al-Hariwi(301 H) dan Ibnu Hatim(327 H). Yang sangat berguna bagi ahli haduts dan fiqih adalah kitab At-Takmil susunan Imam Ibnu Katsir.
Di antara kitab-kitab yang membahas tentang orang-orang yang dapat dipercaya yaitu kitab As-Siqat karangan Al-Ajaly(261 H), As-Siqat karangan Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busty yang menerangkan tentang tingkatan para penghafal dan ada juga ulama lain yang menyusun seperti kitab tersebut di antaranya Az- Zahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan As-Sayuti. Sedang kitab-kitab yang membahas tentang kecacatan seorang perawi antara lain yaitu Ad-Duafa karangan Imam Al-Bukhari dan kitab Ad-Duafa karangan Ibnu Jauzi.
3. ILMU TARIKH AR-RUWAH
Ilmu Tarikh ar-ruwah adalah ilmu yang membahas tentang keadaan dan identitas perawi seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan hadits dari dirinya, tempat tingga mereka, tempat mereka mengadakan lawatan dll. Ilmu ini untuk mengetahui para perawi hadits yang berkaitan dengan usaha atau cara periwayatan mereka terhadap hadits.
Sebagai bagian dari ilmu rijal al-hadits, ilmu ini mengkhususkan pembahasanya secara mendalam pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan. Adapun hubungan antara ilmu tersebut dan ilmu tabaqah ar-ruwah, terdapat beberapa pendapat di antara para ulama.Ada ulama yang membedakannya dan ada juga yang menyamakannya. Menurut As-Suyuti, hubungan antara tabaqah ar-ruwah dan tarikh ar-ruwah adalah umum dan khusus. Keduanya bersatu dalam pengertian yang berkaitan dengan para perawi,tetapi ilmu tarikh ar-ruwah menyendiri dalam hubungannya dengan kejadian- kejadian yang baru. Menurut As-Sakhawi, para ulama mutakhirin membedakan antara kedua disiplin ilmu tersebut. Menurut mereka, ilmu tarikh ar-ruwah melalui eksistensinya berfungsi untuk memperhatikan kelahiran dan wafat para perawi dan melalui sifatnya, berfungsi untuk memperhatikan hal ihwal para perawi. Adapun ilmu tabaqah ar-ruwah, melalui eksistensinya, berfungsi untuk memperhatikan hal ihwal perawi dan melalui sifatnya berfungsi untuk memperhatikan kelahiran dan kapan mereka wafat.
4. ILMU ILLAL AL-HADITS
Kata illal adalah bentuk jamak dari kata al-illah yang menurut bahasa berarti al-marad (penyakit atau sakit). Menurut ulama Muhadditsin , istilah illah berarti sebab yang tersembunyi atau samar yang dapat mencemarkan hadits, sehingga hadits tersebut tidak terlihat cacat. Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Illah Al-Hadits menurut ulama Muhadditsin adalah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan hadits, seperti mengatakan muttasil terhadap hadits yang munqati’, menyebut marfu’ pada hadits yang mauquf, memasukkan hadits kepada hadits lain dll.
Abu Abdullah Al-HakimAn-Naisaburi dalam kitabnya Ma’rifah Ulum Al-Hadits menyebutkan bahwa ilmu Illah Al-Hadits adalah ilmu yang berdiri sendiri, selain dari ilmu yang sahih dan dhaif, jarh dan ta’dil. Ia menerangkan , illat hadits tidak termasuk dalam bahasan jarh sebab hadits yang majrub adalah hadits yang gugur dan tidak dipakai. Illat hadits yang banyak terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan yaitu orang-orang yang menceritakan suatu hadits yang mengandung illat tersembunyi.Karena illat tersebut maka haditsnya disebut hadits ma’lul. Lebih jauh lagi, Al-Hakim menyebutkan bahwa dasar penetapan illat hadits adalah hapalan yang sempurna, pemahaman yang mendalam, dan pengetahuan yang cukup.
Di antara ulama yang menulis ilmu tersebut yaitu Ibnu Madini(234 H), Ibnu Abi Hatim(327 H), kitab beliau sangat baik yang bernama kitab Illail Hadits. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini adalah Imam Muslim(261 H), Ad-Darqutni(357 H) dan Muhammad Ibnu AbdillahAl-Hakim.
5. ILMU AN-NASAKH WA AL-MANSUKH
Kata an-nasakh menurut bahasa adalah mempunyai dua pengertian yaitu izalah(menghilangkan) dan an-naql(nenyalin). Pengertia an-nasakh menurut bahasa dapat ditemukan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 106. Sedang menurut istilah sebagian pendapay ulama ushul adalah “syari’ mengangkat(membatalkan) suatu hokum syara’ dengan menggunakan dalil syar’I yang datang kemudian”. Konsekuensi dari pengertian ini adalah bahwa menerangkan nash yang mujmal, menasikhkan yang ‘am, dan mentaqyidkan yang mutlaq tidaklah dikatakan nasakh.
Yang dimaksud ilmu Nasakh wa Mansukh dalam ilmu hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang dating kemudian disebut nasikh.
Apabila didapati suatu hadits yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadits tersebut adalah hadits Muhkam. Namun jika dilawan dengan hadits yang sederajat, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadits tersebut adalah hadits Mukhatakif al- hadits. Jika tidak mungkin untuk dikumpulkan dan diketahui mana yang terkemudi, maka yang terkemudi itu adalah nasikh dan yang terdahulu adalah mansukh.
Para ulama yang menyusun kitab-kitab nasakh dan mansukh antara lain Ahmad Ibnu Ishaq Ad-Dinary(318 H), Muhammad Ibnu Bakar Al-Asbahani(322 H), Ahmad Ibnu Muhammad An-Nahhas(338 H), Muhammad Ibnu Musa Al-Hazimi(584 H) menyusun kitabnya yang bernama Al-Iktibar. Kitab tersebut telah diringkas oleh Ibnu Abdil Haq(744 H).
6. ILMU ASBAB AL-WURUD AL-HADITS
Kata asbab adalah bentuk jamak dari sabab. Menurut ahli bahasa asbab diartikan dengan al-habl(tali), yang menurut lisan Al-Arab berarti salura, yang artinya adalah “Segala sesuatu yang menghubungkan benda dengan benda lainnya”. Menurut istilah adalah segala sesuatu yang mengantar pada tujuan. Ada juga yang mendefinisikan dengan “Jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukum itu”.
Kata wurud(sampai,muncul) berarti “Air yang memancar atau yang mengalir”. Dalam pengertian yang lebih luas As-Suyuti merupakan pengertian asbab al-wurud al-hadits dengan “Sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlaq atau muqqayyat, dinasakhkan, dan seterusnya atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat kemunculannya”.
Dari pengertian diatas , dapat dibawa pada pengertian ilmu Asbaab Al-wurut Al-Hadits, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Nabi Muhammad SAW. menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda Rasulullah SAW. Tentang suci dan menyucikan air laut, yaitu “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. Hadits ini dituturkan oleh Rasulullah SAW. ketika seorang sahabat yang sedang berada ditengah laut mendapatkan kesulitan untuk berwudlu’. Contoh lain adalah hadits tentang niat yang dituturkan berkenaan dengan peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW. Ke Madinah. Salah seorang yang ikut hijrah karena ingin menikahi wanita yang bernama Ummu Qais.
Urgensi asbab wurud terhadap hadits sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadits, sama halnya dengan urgensi asbab nuzul Al-Quran terhadap Al-Quran. Ini terlihat dari beberapa faedahnya, antara lain dapat mentaksis arti yang umum, membatasi arti yang mutlaq, menunjukkan perincian terhadap yang mujmal,menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum. Maka dengan memahami ilmu Asbab Wurud Al-Hadits ini, makna yang dimaksud atau dikandung oleh suatu hadits dapat dipahami dengan mudah. Namun demikian, tidak semua hadits mempunyai asbab al-wurud, seperti halnya tidak semua ayat Al-Quran memiliki asbab an-nuzulnya. Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memehami hadits, sebagaimna ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran.
Ulama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat adalah Abu Hafas Ibnu Umar Muhammad Ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad(309 H), Ibrahim Ibnu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al-Husaini(1120 H), dalam kitabnya Al-Bayan Wa At-Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H.
7. ILMU MUKHTALIF AL-HADITS
Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanagar pertentangan tersebut dapat dihilangkan atau dapat dikompromi antara keduanya sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami isi atau kandungannya, dengan menghilangkan kemusykilan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa dengan menguasai ilmu Mukhtalif Al-Hadits, maka hadits-hadits yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentangan itu sendiri. Begitu juga kemusykilannya yang terlihat dalam suatu hadits dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadits tersebut. Dapat disimpulkan bahwa ilmu tersebut membahas tentang cara mengumpulkan hadits-hadits yang isinya bertentangan.
Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang ‘am, atau menaqyidkan yang mutlaq, atau dengan memandang banyaknya yang terjadi. Para ulama yang telah berusaha menyusun ilmu ini antara lain Al-Imamusy Syafii(204 H), Ibnu Qurtaiba(276 H), At-Tahawi(321 H), dan Ibnu Jauzi(597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disarahkan oleh Al-Ustad Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.
Nama laindari ilmu tersebut antara lain: Musykil al-hadits, Takwil al-hadits, Talfiq al-hadits, danIkhtilaf al-hadits. Semua nama di atas memiliki maksud dan arti yang sama.
Dari penjelasan singkat di atas tentang cabang-cabang ilmu hadits, terdapat banyak perbedaan dalam referensi yang telah diangkat. Dan yang telah ditulis dalam makalah ini berjumlah tujuh cabang. Ada cabang ilmu hadits yang tidak tercantum dalam makalah ini yaitu tentang Gharib Al-Hadits dan At-Tashif wa At-Tahrif karena kurangnya penjelasan dan pemahaman.
0 komentar:
Posting Komentar