Ega ginanjar 1147060023 | Blog ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Aplikasi Komputer

Rabu, 20 Mei 2015

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADITS

KATA PENGANTAR


Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya kami dapat  menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah ILMU HADITS yang berjudul “SEJARAH DAN CABANG-CABANG ILMU HADITS“ .
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan kritik  dan saran demi kesempurnaan makalah ini . Dan tidak pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah ILMU HADITS.
            Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima, menjadi amal sholeh dan diterima Allah SWT sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pembaca pada umumnya .






Bandung, 31 Maret 2015


Penulis




DAFTAR ISI








Sebagai di ketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadits sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syari`at Islam. Ada Hadits Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits Dha`if. Masing-masing memiliki persyaratan sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan persambungan sanad, kulitas para periwayat yang di lalui hadits, dan ada pula yang berkaitan dengan kandungan hadits itu sendiri. Maka persoalan yang ada dalam ilmu hadits ada dua. Pertama berkaitan dengan sanad, kedua berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadits itu bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah para periwayat hadits yang di cantumkan di dalam sanad hadits itu orang-orang yang terpercaya aau tidak. Adapun Ilmu yang berkaitan dengan matan akan membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah informasi yang terkandung di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak. Misalnya, apakah kandungan hadits bertentangan dengan dalil lain atau tidak.
Secara garis besar ilmu hadits dibagi atas ilmu hadits riwayat dan ilmu hadits dirayat. Jika ilmu hadits riwayat membahas materi hadits yang menjadi kandungan makna, maka ilmu hadits dirayat mengambil pembahasan mengenai kaidah-kaidahnya, baik yang berhubungah dengan sanad atau matan hadits. Kedua pengetahuan tersebut sama-sama penting. Sebab dengan ilmu yang pertama, setiap muslim yang ingin mengikuti jejak laku dan teladan Rasulullah , harus menguasai ilmu tersebut. Sementara itu dengan menguasai ilmu yang kedua, setiap muslim dan siapapun yang mempelajari dengan baik akan mendapatkan informasi yang akurat dan akuntabel tentang hadits Nabi/ Rasulullah saw.



Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), atau sifat.
Hadits menurut bahasa artinya baru. Hadits juga secara bahasa berarti “sesuatu yang dibicarakan dan dinukil”, juga “sesuatu yang sedikit dan banyak”. Bentuk jamaknya adalah ahadits. Adapun firman Allah Ta’ala,
فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا
“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada hadits ini” (Al-Kahfi [18] : 6). Maksud hadits dalam ayat ini adalah Al-Qur’an.
Dan firman Allah :
“Dan adapun nikmat Tuhanmu, maka sampaikanlah.” (Adh-Dhuha [93] : 11). Maksudnya: sampaikan risalahmu, wahai Muhammad.
Haditst menurut istilah ahli, hadits adalah: Apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya.
Sedangkan menurut ahli ushul fisih, hadits adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah kenabiannya. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi setelah kenabian.
Kata “al hadits” dapat juga dipandang sebagai istilah yang lebih umum dari kata “as sunnah”. Yang mencakup seluruh yang berhubungan dan disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan istilah “as sunnah” digunakan untuk perbuatan (‘amal) dari Nabi SAW saja.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Buku-buku yang di dalamnya berisi tentang khabar Rasulullah, antara lain adalah Tafsir, Sirah dan Maghazi (peperangan Nabi –Edt, dan Hadits. Buku-buku hadits adalah lebih khusu berisi tentang hal-hal sesudah kenabian, meskipun berita tersebut terjadi sebelum kenabian. Namun itu tidak disebutkan untuk dijadikan landasan amal dan syariat.
Ulumul Hadits adalah istilah Ilmu Hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (Arabnya : ‘Ulum al Hadits). ‘Ulum al Hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘Ulumu dan al Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm jadi berarti “ilmu-imu”. sedangkan al Hadits di kalangan Ulama’ Hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqri atau sifat”. Dengan demikian ‘Ulum al Hadits  mengandung pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi”.
Secara umum para ulama Hadits membagi Ilmu Hadits kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadits Riwayah (‘ilm al Hadits Riwayah) dan Hadits Dirayah (‘ilm al Hadits Dirayah):
a.      Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mengandung pembicaraan tentang penukilan sabda-sabda Nabi, perbuatan-perbuatan beliau, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri, secara detail dan dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang di kutip oleh Al-Suyuthi, yaitu Ilmu Hadits yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, pencatatannya, serta periwayatannya, dan penguraian lafaz-lafznya.
Menurut Muhammad `Ajjaj al-Khathib, yaitu Ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci.
Menurut Zhafar Ahmad ibn lathif al-`Utsmani al-Tahanawi di dalam
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu Ilmu Hadits yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rosul SAW serta periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadits Nabi SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Dari ketiga definisi di atas dapat di pahami bahwa Ilmu Hadits Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi SAW.
Objek kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah Hadits Nabi SAW dari segi periwayatannya dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
·         Cara periwayatan Hadits, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lainnya;
·         Cara pemeliharaan Hadits, Yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan dan pembukuannya.
Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu ini adalah: pemeliharaan terhadap Hadits Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan dan pembukuannya.

b.      Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah yaitu satu ilmu yang mempunyai beberapa kaidah (patokan), yang dengan kaidah-kaidah itu dapat diketahui keadaan perawi (sanad) dan diriwayatkan (marwiy)dari segi diterima atau ditolaknya.
Para ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu Hadits Dirayah ini. Akan tetapi, apabila di cermati definisi-definisi yang mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok bahasannya.
Menurut ibnu al-Akfani, ilmu hadits yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
Menurut Imam al-Suyuti merupakan uraian dan elaborasi dari definisi diatas, yaitu Hakikat Riwayat adalah kegiatan periwayatan sunnah (Hadits) dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi “haddatsana fulan”, (telah menceritakan kepada kami si fulan), atau ikhbar, seperti perkataannya“akhbarana fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si fulan).
Menurut M. `Ajjaj al-Khatib dengan definisi yang lebih ringkas dan komprehensif, yaitu Ilmu Hadits Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi di terima atau ditolaknya.
Al-rawi atau perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan Hadits dari satu orang kepada yang lainnya.
Al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya seperti Sahabat atau Tabi`in.
Keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh danta`dil ketika tahammul dan adda` al-Hadits, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan Hadits.
Keadaan marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan denganittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya `illat atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu Hadits.

Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah SAW mencurahkan segala aktifitasnya untuk mendakwahkan Islam kepada umat manusia sehingga belahan dunia (Arab) tersinari oleh agama yang hanif ini.
Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat Rasulullah SAW masih hidup ditengah-tengah kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam bentuk prinsip-prinsip dasar, yang merupakan embrio bagi pertumbuhan ilmu hadits dikemudian hari. Misalnya tentang pentingnya pemeriksaan dan tabayyun, terhadap setiap berita yang didengar, atau pentingnya persaksian orang adil dan sebagainya. Firman Allah dalam (Al-Hujurat [49] : 6) menyatakan:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu
Demikian pula dalam (Al-Thalaq [65] : 2)
...وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

“.......persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.”
      Ayat di atas jelas memberikan perintah kepada kaum muslimin supaya memeriksa, meneliti dan mengkaji berita yang dating, khususnya berita yang dibawa oleh orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang datang pasti diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya. Jika pembawanya orang terpercaya dan adil, maka pasti diterima. Tetapi sabaliknya, jika mereka tidak jujur dan fasik, tidak obyektif, maka berita akan ditolak.
      Sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat Nabi sangat hati-hati dalam periwayatan hadits, karena konsentrasi mereka masih banyak tercurahkan kepada al-Qur’an, yang baru mulai dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar dan disempurnakan pada saat sahabat Utsman bin Affan menjadi Khalifah. Selanjutnya ketika mulai terjadi konflik politik, yang memicu munculnya firqah di kalangan kaum muslimin ; Syi’ah, Murji’ah dan Jama’ah, dan pada gilirannya mendorong timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan direkayasa, maka para ulama bangkit untuk membendung pemalsuan dan menjaga kemurnian hadits Nabi. Dari usaha ini, terbentuklah teori-teori tentang periwayatan. Keharusan menyertakan sanad menjadi bagian penting yang dipersyaratakan dalam setiap periwayatan. Hal ini telah dilakukan antara lain oleh Ibnu Syihab al-Zuhri ketika menghimpun hadits dari para ulama.
      Ketika para ulama hadits membahas tentang kemampuan hafalan / daya ingat para perawi (dhabit), membahas bagaimana system penerimaan dan penyampaian yang dipergunakan (tahammul wa ada’ al-hadits), bagaimana cara menyelesaikan hadits yang tampak kotradiktif, bagaimana memahami hadits yang musykil dan sebagainya, maka perkembangan ilmu hadits semakin meningkat. Ketika Imam al-Syafi’i (wafat 204 H) menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu hadits telah mengalami perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas kaidah-kaidah tentang periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah ushul fiqih. Demikian pula dalam kitab al-Umm. Di sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara menyelesaikan haadits-hadits yang bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada saat itu sudah mulai tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah dengan ilmu lain, belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
      Sesudah generasi al-Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits, misalnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah (wafat 276 H ) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzi menulis al-Asma’ wa al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Thabaqat al-Kubra. Demikian pula al-Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dlu’afa’. Dengan banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu hadits pada abad III H ini, maka dapat difahami mengapa abad ini disebut sebagai awal kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu hadits secara lengkap dan sempurna.
      Penulisan ilmu hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika Al-Qadli Abu Muhammad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (wafat 360 H) menulis buku Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim al-Naisaburi (wafat 405 H) menulis Ma’rifatu Ulum al-Hadits,al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-Sami’, al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayat dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’.

Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ialah:
a.      Ilmu Rijali’l Hadits
Yaitu ilmu pengetahuan dalam pembahasannya, membicarakan hal ihwal dan sejarah kehidupan para rawi, dari gologan sahabat, tabiin dan tabiit-tabiin.
a.   sahabat
                  Yaitu orang yang bertemu dan hidup bersama Rsulullah SAW
b.   Tabi’iy                                                             
Yaitu orang-orang yang menjumpai sahabat dalam keadaan iman dan islam, dan mati dalam keadaan islam, baik perjumpaanya lama ataupun sebentar.

c.   Muhaldramin
Orang-orang yang hidup pada zaman jahiliyah dan hidup pada zaman nabi Muhammad SAW dalam keadaan Islam, tapi tidak sempat menemuinya.
d. Al-Mawaly
Para rawi dan ulama yang semula asalnya budak

b.      Ilmu Tawarihi’r Ru-wah
Adalah ilmu untuk mengetahui para rawi dalam hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan hadits, karena itu ia mencakup keterangan tentang hal ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggal kapan mendengar dari gurunya, orang-orang yang berguru kepadanya, kota dan kampong halamannya, perantauannya, tanggal kunjunangannya ke negeri yang berbeda-beda, mendengar hadits dari sebagian guru sebelum dan sesudah ia lanjut usia dan lain sebaginya yang ada hubungan lainnya dengan masalah perhaditsannya.
c.       Ilmu Thabaqah
Suatu ilmu yang dalam pokok pembahasannya diarahkan pada orang-orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang sama.
d.      Ilmu Jarhi Wa’ta’dil
Adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
e.       Ilmu Gharibi’l-Hadits
Ilmu untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam hadits yang sukar dipahami, karena jarang sekali digunakan.
f.       Ilmu Asbabi Wurudi’l-Hadits
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab lahirnya hadits.
g.      Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
Nasikh artinya menghapus atau menghilangkan, sedangkan masukh adalah yang dihapus atau dihilangkan. Menurut ulama ushul Naskh adalah penghapusan oleh syari’ (pembuat hukum dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya SAW) terhadap suatu hukum syara’ dengan dalil syar’iy yang datang kemudian.
Ilmu nasikh dan mansukh hadits yaitu ilmu yang membahas Hadits-hadits yang bertentangan dan tidak mungkin di ambil jalan tengah. Hukum hadits yang satu menghapus (menasikh) hukum Hadits yang lain (mansukh). Yang datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul belakangan dinamakan nasikh. Nasikh inilah yang berlaku selanjutnya.
h.      Ilmu Mukhtalifu’l-Hadits
Yaitu ilmu yang membahas hadits yang menurut lahirnya saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawananyanya itu dikompromikan keduanya, sebagaimana membahsa hadits-hadits yang sukar dipahami dan diambil isinya untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.
i.        Ilmu Ilali’l-Hadits
Ilmu yang membahas suatu sebab yang tersembunyi yang dapat membuat cacat suatu hadits yang nampaknya tiada bercacat itu.



a.       Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW.
b.      Ilmu Hadits Riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadits Nabi SAW. Objek kajiannya adalah Hadits Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaannya.
c.       Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi di terima atau di tolaknya. Rawi adalah orang yang menyampaikan Hadits dari satu orang kepada yang lainnya; Marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW atau kepada Sahabat dan Tabi`in. Ilmu Hadits Dirayah inilah yang selanjutnya disebut dengan Ulumul Hadits.
d.      Cabang-cabang Ulumul Hadits diantaranya adalah:
1)      Ilmu Rijali’l Hadits
2)      Ilmu Tawarihi’r Ru-wah
3)      Ilmu Thabaqah
4)      Ilmu Jarhi Wa’ta’dil
5)      Ilmu Gharibi’l-Hadits
6)      Ilmu Asbabi Wurudi’l-Hadits
7)      Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
8)      Ilmu Mukhtalifu’l-Hadits
9)      Ilmu Ilali’l-Hadits



Ø  Syaikh Manna Al-Qaththan. PENGANTAR STUDI ILMU HADITS. 2005. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar
Ø  Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsman. MUSHTHALAH AL HADITS. Yogyakarta : Media Hidayah
Ø  Warsito, Lc. PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH. 2001. Bogor : LPD Al Huda
Ø  Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsman, MUSHTHALAH AL HADITS, Yogyakarta, halaman 15
Ø  Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 22
Ø  Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman 10
Ø  Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 22
Ø  Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 73
Ø  Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 73
Ø  Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman 45
Ø  Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 75
Ø  Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 82-83
Ø  Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman 118
Ø  Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 98
Ø  Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman 117
Ø  Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman 118





0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts