SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADITS
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami
panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah ILMU HADITS yang berjudul “SEJARAH DAN
CABANG-CABANG ILMU HADITS“ .
Dalam penyelesaian makalah ini
penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu
melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan kritik dan saran
demi kesempurnaan makalah ini . Dan tidak pula penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dosen mata kuliah ILMU HADITS.
Sebagai
bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat
diterima, menjadi amal sholeh dan diterima Allah SWT sebagai sebuah kebaikan.
Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pembaca pada
umumnya .
Bandung,
31 Maret 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
Sebagai
di ketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadits sesuai dengan
fungsinya dalam menetapkan syari`at Islam. Ada Hadits Shahih, Hadits
Hasan, dan Hadits Dha`if. Masing-masing memiliki persyaratan
sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan persambungan
sanad, kulitas para periwayat yang di lalui hadits, dan ada pula yang berkaitan
dengan kandungan hadits itu sendiri. Maka persoalan yang ada dalam ilmu hadits
ada dua. Pertama berkaitan dengan sanad, kedua berkaitan dengan matan. Ilmu
yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadits
itu bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah para periwayat hadits yang di
cantumkan di dalam sanad hadits itu orang-orang yang terpercaya aau tidak.
Adapun Ilmu yang berkaitan dengan matan akan membantu kita mempersoalkan dan
akhirnya mengetahui apakah informasi yang terkandung di dalamnya berasal dari
Nabi atau tidak. Misalnya, apakah kandungan hadits bertentangan dengan dalil
lain atau tidak.
Secara
garis besar ilmu hadits dibagi atas ilmu hadits riwayat dan ilmu hadits
dirayat. Jika ilmu hadits riwayat membahas materi hadits yang menjadi kandungan
makna, maka ilmu hadits dirayat mengambil pembahasan mengenai kaidah-kaidahnya,
baik yang berhubungah dengan sanad atau matan hadits. Kedua pengetahuan
tersebut sama-sama penting. Sebab dengan ilmu yang pertama, setiap muslim yang
ingin mengikuti jejak laku dan teladan Rasulullah , harus menguasai ilmu
tersebut. Sementara itu dengan menguasai ilmu yang kedua, setiap muslim dan
siapapun yang mempelajari dengan baik akan mendapatkan informasi yang akurat
dan akuntabel tentang hadits Nabi/ Rasulullah saw.
Hadits adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir
(persetujuan), atau sifat.
Hadits menurut bahasa artinya baru.
Hadits juga secara bahasa berarti “sesuatu yang dibicarakan dan dinukil”, juga
“sesuatu yang sedikit dan banyak”. Bentuk jamaknya adalah ahadits. Adapun
firman Allah Ta’ala,
فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ
ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟
بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا
“Maka (apakah) barangkali kamu akan
membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka
tidak beriman kepada hadits ini” (Al-Kahfi [18] : 6).
Maksud hadits dalam ayat ini adalah Al-Qur’an.
Dan
firman Allah :
“Dan adapun nikmat Tuhanmu, maka
sampaikanlah.” (Adh-Dhuha [93] : 11). Maksudnya: sampaikan
risalahmu, wahai Muhammad.
Haditst menurut istilah ahli, hadits
adalah: Apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan sifat, atau sirah beliau, baik sebelum
kenabian atau sesudahnya.
Sedangkan menurut ahli ushul fisih,
hadits adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah
kenabiannya. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena
yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi setelah
kenabian.
Kata
“al hadits” dapat juga dipandang sebagai istilah yang lebih umum dari kata
“as sunnah”. Yang mencakup seluruh yang berhubungan dan disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan istilah “as sunnah” digunakan untuk perbuatan
(‘amal) dari Nabi SAW saja.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Buku-buku yang di dalamnya berisi tentang khabar
Rasulullah, antara lain adalah Tafsir, Sirah dan Maghazi (peperangan Nabi –Edt,
dan Hadits. Buku-buku hadits adalah lebih khusu berisi tentang hal-hal
sesudah kenabian, meskipun berita tersebut terjadi sebelum kenabian. Namun itu
tidak disebutkan untuk dijadikan landasan amal dan syariat.
Ulumul
Hadits adalah istilah Ilmu Hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (Arabnya
: ‘Ulum al Hadits). ‘Ulum al Hadits terdiri atas dua kata yaitu
‘Ulumu dan al Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk
jamak dari ‘ilm jadi berarti “ilmu-imu”. sedangkan al Hadits di
kalangan Ulama’ Hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW
dari perkataan, perbuatan, taqri atau sifat”. Dengan demikian ‘Ulum al Hadits mengandung
pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi”.
Secara umum para ulama Hadits membagi
Ilmu Hadits kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadits Riwayah (‘ilm al Hadits
Riwayah) dan Hadits Dirayah (‘ilm al Hadits Dirayah):
a.
Ilmu
Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang
mengandung pembicaraan tentang penukilan sabda-sabda Nabi, perbuatan-perbuatan
beliau, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri, secara
detail dan dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang
di kutip oleh Al-Suyuthi, yaitu Ilmu Hadits yang khusus berhubungan dengan
riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW
dan perbuatannya, pencatatannya, serta periwayatannya, dan penguraian
lafaz-lafznya.
Menurut Muhammad `Ajjaj al-Khathib,
yaitu Ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang
di sandarkan kepada Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan
atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang
teliti dan terperinci.
Menurut Zhafar Ahmad ibn lathif
al-`Utsmani al-Tahanawi di dalam
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu Ilmu Hadits yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rosul SAW serta periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadits Nabi SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu Ilmu Hadits yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rosul SAW serta periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadits Nabi SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Dari ketiga definisi di atas dapat di
pahami bahwa Ilmu Hadits Riwayah pada dasarnya adalah membahas
tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan
hadits Nabi SAW.
Objek kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah
Hadits Nabi SAW dari segi periwayatannya dan pemeliharaannya. Hal tersebut
mencakup:
·
Cara periwayatan
Hadits, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara penyampaiannya
dari seorang perawi kepada perawi yang lainnya;
·
Cara
pemeliharaan Hadits, Yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan dan
pembukuannya.
Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu ini
adalah: pemeliharaan terhadap Hadits Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia,
serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau
dalam penulisan dan pembukuannya.
b.
Ilmu
Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah yaitu satu ilmu yang
mempunyai beberapa kaidah (patokan), yang dengan kaidah-kaidah itu dapat
diketahui keadaan perawi (sanad) dan diriwayatkan (marwiy)dari segi diterima
atau ditolaknya.
Para ulama memberikan definisi yang
bervariasi terhadap Ilmu Hadits Dirayah ini. Akan tetapi, apabila di
cermati definisi-definisi yang mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di
antara satu dan yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok
bahasannya.
Menurut ibnu al-Akfani, ilmu hadits yang
khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat
riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi,
syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya.
Menurut Imam al-Suyuti merupakan uraian
dan elaborasi dari definisi diatas, yaitu Hakikat Riwayat adalah kegiatan
periwayatan sunnah (Hadits) dan penyandarannya kepada orang yang
meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang
perawi “haddatsana fulan”, (telah menceritakan kepada kami si fulan),
atau ikhbar, seperti perkataannya“akhbarana fulan”, (telah
mengabarkan kepada kami si fulan).
Menurut M. `Ajjaj al-Khatib dengan
definisi yang lebih ringkas dan komprehensif, yaitu Ilmu Hadits Dirayah adalah
kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan
marwi dari segi di terima atau ditolaknya.
Al-rawi atau perawi adalah
orang yang meriwayatkan atau menyampaikan Hadits dari satu orang kepada yang
lainnya.
Al-marwi adalah segala sesuatu yang
diriwayatkan, yaitu sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang
lainnya seperti Sahabat atau Tabi`in.
Keadaan perawi dari segi diterima atau
ditolaknya adalah mengetahui keadaan para perawi dari
segi jarh danta`dil ketika tahammul dan adda`
al-Hadits, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya
dengan periwayatan Hadits.
Keadaan marwi adalah segala
sesuatu yang berhubungan denganittishal al-sanad (persambungan sanad)
atau terputusnya, adanya `illat atau tidak, yang menentukan diterima
atau ditolaknya suatu Hadits.
Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah
SAW mencurahkan segala aktifitasnya untuk mendakwahkan Islam kepada umat
manusia sehingga belahan dunia (Arab) tersinari oleh agama yang hanif ini.
Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan
dengan pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud
sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat Rasulullah SAW
masih hidup ditengah-tengah kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam bentuk
prinsip-prinsip dasar, yang merupakan embrio bagi pertumbuhan ilmu hadits
dikemudian hari. Misalnya tentang pentingnya pemeriksaan dan tabayyun, terhadap
setiap berita yang didengar, atau pentingnya persaksian orang adil dan
sebagainya. Firman Allah dalam (Al-Hujurat [49] : 6) menyatakan:
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu”
Demikian pula
dalam (Al-Thalaq [65] : 2)
...وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ
لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
“.......persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan ke luar.”
Ayat
di atas jelas memberikan perintah kepada kaum muslimin supaya memeriksa,
meneliti dan mengkaji berita yang dating, khususnya berita yang dibawa oleh
orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang datang pasti diterima sebelum
diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya. Jika pembawanya orang
terpercaya dan adil, maka pasti diterima. Tetapi sabaliknya, jika mereka tidak
jujur dan fasik, tidak obyektif, maka berita akan ditolak.
Sepeninggal
Rasulullah SAW, para sahabat Nabi sangat hati-hati dalam periwayatan hadits,
karena konsentrasi mereka masih banyak tercurahkan kepada al-Qur’an, yang baru
mulai dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar dan disempurnakan pada saat
sahabat Utsman bin Affan menjadi Khalifah. Selanjutnya ketika mulai terjadi
konflik politik, yang memicu munculnya firqah di kalangan kaum muslimin ;
Syi’ah, Murji’ah dan Jama’ah, dan pada gilirannya mendorong timbulnya
periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan direkayasa, maka para ulama
bangkit untuk membendung pemalsuan dan menjaga kemurnian hadits Nabi. Dari
usaha ini, terbentuklah teori-teori tentang periwayatan. Keharusan menyertakan
sanad menjadi bagian penting yang dipersyaratakan dalam setiap periwayatan. Hal
ini telah dilakukan antara lain oleh Ibnu Syihab al-Zuhri ketika menghimpun
hadits dari para ulama.
Ketika
para ulama hadits membahas tentang kemampuan hafalan / daya ingat para perawi
(dhabit), membahas bagaimana system penerimaan dan penyampaian yang dipergunakan
(tahammul wa ada’ al-hadits), bagaimana cara menyelesaikan hadits yang tampak
kotradiktif, bagaimana memahami hadits yang musykil dan sebagainya, maka
perkembangan ilmu hadits semakin meningkat. Ketika Imam al-Syafi’i
(wafat 204 H) menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu hadits telah
mengalami perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas
kaidah-kaidah tentang periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah
ushul fiqih. Demikian pula dalam kitab al-Umm. Di sana telah ditulis pula
kaidah yang berkaitan dengan cara menyelesaikan haadits-hadits yang
bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada
saat itu sudah mulai tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah dengan ilmu
lain, belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Sesudah
generasi al-Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits,
misalnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah
(wafat 276 H ) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam
Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzi menulis al-Asma’ wa al-Kuna, Muhammad
bin Sa’ad menulis al-Thabaqat al-Kubra. Demikian pula al-Bukhari menulis
tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dlu’afa’. Dengan banyaknya ulama
yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu hadits pada abad III H ini,
maka dapat difahami mengapa abad ini disebut sebagai awal kelahiran Ilmu
Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu hadits secara lengkap dan
sempurna.
Penulisan
ilmu hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika Al-Qadli Abu Muhammad
al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (wafat 360 H) menulis buku
Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim
al-Naisaburi (wafat 405 H) menulis Ma’rifatu Ulum al-Hadits,al-Khathib Abu
Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-Sami’,
al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayat dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’.
Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh
dari Ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ialah:
a.
Ilmu
Rijali’l Hadits
Yaitu ilmu pengetahuan dalam
pembahasannya, membicarakan hal ihwal dan sejarah kehidupan para rawi, dari
gologan sahabat, tabiin dan tabiit-tabiin.
a. sahabat
Yaitu
orang yang bertemu dan hidup bersama Rsulullah SAW
b.
Tabi’iy
Yaitu orang-orang yang menjumpai sahabat
dalam keadaan iman dan islam, dan mati dalam keadaan islam, baik perjumpaanya
lama ataupun sebentar.
c. Muhaldramin
Orang-orang yang hidup pada zaman
jahiliyah dan hidup pada zaman nabi Muhammad SAW dalam keadaan Islam, tapi
tidak sempat menemuinya.
d. Al-Mawaly
Para rawi dan ulama yang semula asalnya
budak
b.
Ilmu
Tawarihi’r Ru-wah
Adalah ilmu untuk mengetahui para rawi
dalam hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan hadits, karena itu ia
mencakup keterangan tentang hal ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat,
guru-gurunya, tanggal kapan mendengar dari gurunya, orang-orang yang berguru
kepadanya, kota dan kampong halamannya, perantauannya, tanggal kunjunangannya
ke negeri yang berbeda-beda, mendengar hadits dari sebagian guru sebelum dan
sesudah ia lanjut usia dan lain sebaginya yang ada hubungan lainnya dengan
masalah perhaditsannya.
c.
Ilmu
Thabaqah
Suatu ilmu yang dalam pokok
pembahasannya diarahkan pada orang-orang yang berserikat dalam satu alat
pengikat yang sama.
d.
Ilmu
Jarhi Wa’ta’dil
Adalah ilmu yang membahas tentang hal
ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
e.
Ilmu
Gharibi’l-Hadits
Ilmu untuk mengetahui lafadz-lafadz
dalam hadits yang sukar dipahami, karena jarang sekali digunakan.
f.
Ilmu
Asbabi Wurudi’l-Hadits
Yaitu
ilmu yang menerangkan sebab lahirnya hadits.
g.
Ilmu
Nasikh dan Mansukh Hadits
Nasikh artinya menghapus atau
menghilangkan, sedangkan masukh adalah yang dihapus atau dihilangkan.
Menurut ulama ushul Naskh adalah penghapusan oleh syari’ (pembuat hukum dalam
hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya SAW) terhadap suatu hukum syara’ dengan
dalil syar’iy yang datang kemudian.
Ilmu nasikh dan mansukh hadits yaitu
ilmu yang membahas Hadits-hadits yang bertentangan dan tidak mungkin di ambil
jalan tengah. Hukum hadits yang satu menghapus (menasikh) hukum Hadits yang
lain (mansukh). Yang datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul
belakangan dinamakan nasikh. Nasikh inilah yang berlaku selanjutnya.
h.
Ilmu
Mukhtalifu’l-Hadits
Yaitu ilmu yang membahas hadits yang
menurut lahirnya saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawananyanya itu
dikompromikan keduanya, sebagaimana membahsa hadits-hadits yang sukar dipahami
dan diambil isinya untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.
i.
Ilmu
Ilali’l-Hadits
Ilmu yang membahas suatu sebab yang
tersembunyi yang dapat membuat cacat suatu hadits yang nampaknya tiada bercacat
itu.
a. Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang
membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW.
b. Ilmu Hadits Riwayah adalah ilmu yang
mempelajari tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau
pembukuan Hadits Nabi SAW. Objek kajiannya adalah Hadits Nabi SAW dari segi
periwayatan dan pemeliharaannya.
c. Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang
kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan
marwi dari segi di terima atau di tolaknya. Rawi adalah orang yang menyampaikan
Hadits dari satu orang kepada yang lainnya; Marwi adalah segala sesuatu yang
diriwayatkan, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW atau kepada
Sahabat dan Tabi`in. Ilmu
Hadits Dirayah inilah yang selanjutnya disebut dengan Ulumul Hadits.
d. Cabang-cabang Ulumul Hadits
diantaranya adalah:
1) Ilmu
Rijali’l Hadits
2) Ilmu
Tawarihi’r Ru-wah
3) Ilmu
Thabaqah
4) Ilmu
Jarhi Wa’ta’dil
5) Ilmu
Gharibi’l-Hadits
6) Ilmu
Asbabi Wurudi’l-Hadits
7) Ilmu
Nasikh dan Mansukh Hadits
8) Ilmu
Mukhtalifu’l-Hadits
9) Ilmu
Ilali’l-Hadits
Ø Syaikh Manna Al-Qaththan. PENGANTAR STUDI ILMU HADITS.
2005. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar
Ø Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsman. MUSHTHALAH
AL HADITS. Yogyakarta : Media Hidayah
Ø Warsito, Lc. PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI
SUNNAH. 2001. Bogor : LPD Al Huda
Ø Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsman, MUSHTHALAH
AL HADITS, Yogyakarta, halaman 15
Ø Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU
HADITS, 2005, Jakarta, halaman 22
Ø Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI
SUNNAH, 2001, Bogor, halaman 10
Ø Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU
HADITS, 2005, Jakarta, halaman 22
Ø Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU
HADITS, 2005, Jakarta, halaman 73
Ø Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU
HADITS, 2005, Jakarta, halaman 73
Ø Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI
SUNNAH, 2001, Bogor, halaman 45
Ø Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU
HADITS, 2005, Jakarta, halaman 75
Ø Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU
HADITS, 2005, Jakarta, halaman 82-83
Ø Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI
SUNNAH, 2001, Bogor, halaman 118
Ø Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU
HADITS, 2005, Jakarta, halaman 98
Ø Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI
SUNNAH, 2001, Bogor, halaman 117
Ø Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI
SUNNAH, 2001, Bogor, halaman 118
0 komentar:
Posting Komentar